Iklan

Perawat Pulau, Mengabdi di Tengah Ombak Sejak 2002

Kamis, 17 November 2022, Kamis, November 17, 2022 WIB Last Updated 2025-07-21T12:20:17Z
Surianti Sattuang, perawat yang bekerja di salah satu pulau di Pangkep.


KLIKTERKINI.COM, PANGKEP - Resiko besar di depan mata para petugas di kepulauan terpampang jelas dan nyata. Namun tak menyurutkan langkah para perawat untuk melayani masyarakat sejak 2002. Awalnya, Surianti Sattuang bertugas di wilayah kepulauan Kecamatan Liukang Tangaya secara sukarela. Ia merupakan masyarakat asli Kelurahan Bonto-Bonto, Kecamatan Marang. Tetapi , Faktor sulitnya mencari pekerjaan, Ia memilih ke pulau yang letaknya ribuan mil dari anak-anak dan suaminya. 


Sempat mendaftar di RSUD Pangkep, namun ditolak dengan alasan banyaknya sukarela di RS tersebut. Akhirnya ia memilih ke pulau yang jauh dan terpencil. "Awalnya saya melamar untuk menjadi perawat di RS Pangkep, namun pada waktu itu ditolak, dengan alasan sudah banyak tenaga perawat di rumah sakit. Jadi saya mencari tempat lain, hingga akhirnya saya terpikir untuk mengabdi ke pulau," paparnya, Minggu, 17 November 2022.


Seiring berjalannya waktu, Surianti kemudian mencoba mengadu nasib ke Pulau Tampaang, Kecamatan Liukang Tangaya, untuk pertama kalinya pada 2002 ia mengarungi laut ke pulau ini. Akhirnya, pada penerimaan CPNS Desember 2002, Surianti lolos dan ditempatkan di Puskesdes Pulau Kapoposang Bali, untuk mencapai tempat ini, Surianti yang alumni Akper Kota Makassar harus menempuh perjalanan selama tiga hari dua malam mengarungi laut lepas. Ia hanya menumpang kapal nelayan yang waktu itu mesinnya masih daya kecil, sementara ombak di perairan itu tinggi.


Tidak lama, Surianti tugas di Pulau Kapoposang Bali, Surianti terangkat sebagai PNS dengan SK di Puskesdes Kapoposang Bali, kemudian pada 2003 ia bertugas di Pustu Pulau Tampaang, pulau ini lebih dekat ke Kota Makassar dibandingkan Pulau Kapoposang Bali, dua hari dua malam waktu yang harus ditempuh, sementara untuk ke Lombok diperlukan waktu satu hari satu malam. 


Kemudian pada 2007, ia bertugas lagi di Pulau Matalaang, Desa Sabalana, disini Surianti bertugas cukup lama hingga 2016. Hingga akhirnya Surianti menjabat sebagai Kepala Puskesmas Liukang Tangaya pada 2017.


Banyak pengalaman yang dilalui perawat apung ini, mengarungi lautan berjam-jam hingga berhari-hari sudah menjadi tugasnya. Apalagi saat ada pasien yang kritis. Surinati bergerak cepat, sewaktu bertugas di Pustu Tampaang, ia merujuk pasien yang mengalami gangguan lambung, rujukannya ditujukan ke RS Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu dipilih sebab jaraknya hanya satu hari, dibandingkan harus ke Kota Makassar atau ke Kabupaten Pangkep yang harus ditempuh hingga dua hari dua malam di perairan.


Sementara sewaktu bertugas di Pulau Matalaang, ia merujuk pasien ke RS yang ada di Bima, NTB karena lagi-lagi alasan jarak tempuh yang lebih dekat ke NTB. Paling sulit diceritakan, saat merujuk pasien ditengah cuaca yang tidak mendukung. Sementara kapal yang ditumpanginya juga tidak cukup besar, hanya muat 5-10 orang saja. Namun, sekuat hati dan keberanian, Surianti tetap mendampingi pasien pulau untuk dirujuk ke RS.


Begitu yang dilakukan, setiap ada pasien rujukan, ia harus mendampinginya, bersama dengan peralatan kesehatan yang dibawanya, setiap pasien yang dirujuk pun harus diinfus di atas perahu, walaupun dalam kondisi yang terbatas dan gelombang tinggi. "Perahu yang ditumpangi juga terbatas muatannya, biasanya perahu kecil, hanya muat lima orang. Jadi kita jaga betul ini pasien, pasti basah juga kita kalau ombak sudah tinggi, pasien tetap infus," ungkapnya.


Tidak hanya itu, pengalaman yang memprihatinkan juga saat ada ibu yang terpaksa melahirkan di atas perahu, saat hendak dirujuk ke RS, Surianti berperan juga sebagai bidan untuk membantu proses persalinan ibu di atas perahu yang kecil itu. Hal yang seperti itu sudah sering dilakukan, bagi para medis di kepulauan, membantu proses melahirkan ibu di atas perahu kerap terjadi saat hendak dirujuk ke RS. Surianti memang seorang perawat, tetapi ia juga melakukan tugas-tugas bidan dan dokter. Sebab hanya ada satu orang di tiap desa. Sementara ada ratusan bahkan ribuan warga yang harus diperhatikan kondisinya setiap saat.


Tidak sekadar merujuk, tetapi para medis pulau juga tetap mendampingi pasien ya g dirujuknya. Padahal di pulau menanti masyarakat lain untuk diobati, sebab satu pustu hanya ada satu tenaga medis saja. Sementara satu desa ada empat pulau yang harus dilayani, dengan tenaga medis yang tersedia hanya satu orang.


Belum lagi, saat ada warga yang sakit di pulau lain dan kondisinya kritis. Surianti harus langsung bergerak mencari kapal nelayan untul berangkat ke pulau yang ada warga sakit. Itu hanya mengandalkan perahu nelayan yang melintas saja, sebab ia tidak memiliki perahu sendiri.


"Kalau ada warga sakit di pulau lain, kita harus cari tumpangan ke nelayan-nelayan yang melintas. Sebab jika tidak begitu, maka saya tidak bisa datang melihat keadaan pasien yang sakit, tidak ada transportasi," ungkapnya.


Sementara untuk menumpang di perahu nelayan, Surianti harus mengeluarkan biaya sendiri, tidak masuk dalam tanggungan pemerintah, saat ia datang ke rumah warganya yang sakit. Kadang juga ada nelayan yang secara sukarela mengantar Surianti untuk menolong warganya yang sakit itu.


Ia berharap, agar pemerintah memperhatikan juga kesejahteraan tenaga medis non PNS, di wilayahnya disebut masih banyak tenaga medis yang secara sukarela tidak digaji oleh pemerintah, rela menolong dan membantu masyarakat yang sakit, untuk biayanya, para medis yang PNS memilih patungan untuk memberikan insentif bagi para medis yang berstatus non PNS dan tidak memiliki SK pemda ini.


Selain itu, Kepala Puskesmas Liukang Tangaya ini juga berharap agar, para medis memperoleh insentif layaknya guru yang bertugas di wilayah terpencil. "Kalau gaji alhamdulillah ada, kita berharapnya juga ada insentif tambahan, melihat wilayah tugas kita yang sulit dan tenaga medis juga sangat kurang yang mau ditempatkan disini, kita berharap ada insentif yang berbeda antara tenaga medis yang tugas di pulau dan tugas di daratan," paparnya.


Tidak hanya itu, ia juga berharap agar pemerintah memperhatikan ketersediaan alat kesehatan dan sarana pendukung di Puskesmas Liukang Tangaya. Menurutnya terbatasnya aliran listrik di pulau, menyulitkan untuk dilakukan pelayanan saat malam hari dan menggunakan alat kesehatan dengan maksimal.


"Listrik terbatas, kita terbantu dengan tenaga surya, namun itu juga dayanya tidak mencukupi untuk kita operasikan beberapa alkes yang membutuhkan tenaga listrik. Padahal alkes ini harus kita pergunakan sesuai dengan kebutuhan pasien. Namun nyatanya sulit kita pakai karena tidak ada listrik yang memadai," paparnya.


Selain itu, tidak ada kapal yang disediakan untuk merujuk pasien dan untuk pelayanan bagi para medis yang bertugas lintas pulau. Sementara di Kecamatan Liukang Tangaya terdapat 25 pulau yang letaknya saling berjauhan, ada yang dekat ke Bima, Lombok dan Sumbawa. 


Menurutnya, kapal sangat dibutuhkan para medis agar dapat memaksimalkan tugasnya mengelilingi pulau, sehingga tidak menumpang lagi di kapal milik nelayan. Apalagi saat cuaca tidak bersahabat dan kapal nelayan tidak melaut, itu juga menjadi resiko yang dihadapi para medis agar tetap dapat melayani warga yang sakit.


"Sebenarnya kita berharap juga agar ambulans laut bisa merapat kesini, namun biaya operasionalnya tetap ditanggung pemprov. Sebab keuangan kami tidak mencukupi untuk biaya operasional ambulans laut itu. Tetapi jika melihat kebutuhan, memang kita sangat butuh. Melihat seringnya kita merujuk pasien dengan kapal kecil saja itu juga penuh resiko. Tetapi tidak ada lagi pilihan yang lain," paparnya. (Mia)

Komentar

Tampilkan

  • Perawat Pulau, Mengabdi di Tengah Ombak Sejak 2002
  • 0

Terkini

G2

G2

G1

G1

Topik Populer

Video Terpopuler